Andesit_
Sabtu, 16 Maret 2024
PENDAKI; SAMPAH!
Kamis, 26 Oktober 2023
PUSKESMAS; PUSAT KEGELAPAN SUNYI MASYARAKAT
![]() |
Ilustrasi. Foto: Net |
Angin laut berhembus membelaiku, dalam tidur seolah banyak orang yang mencariku. Kukira aku sedang bermimpi, ternyata memang banyak yang mencariku. Seorang peserta tiba-tiba sakit, Ia merasa sesak nafas. Ia memang memiliki riwayat penyakit. Seketika semua orang panik. Dalam gelap, mobil menuju pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat.
Setibanya, ia diminta untuk baring. Juga diminta untuk meminum obat yang diberikan oleh perawat. Tak ada dokter malam itu, barangkali juga malam-malam sebelumnya, tidak ada dokter yang menetap 24 jam. Kata perawat, obat itu sesuai instruksi dokter melalui via telephone.
Beberapa minggu terakhir listrik sering padam secara bergiliran, entah apa penyebabnya. Mirisnya, puskesmas tersebut tidak mengantisipasi pemadam listrik tersebut sehingga pasien gelap-gelapan ketika terjadi pada malam hari. Seharusnya setiap puskesmas dilengkapi fasilitas seperti genset agar tidak gelap ketika listrik padam pada malam hari.
Dari luar puskesmas, seorang kawan inisiatif untuk tetap menyalakan mobilnya agar dapat menerangi peserta yang terlihat masih sesak nafas. Dalam hatiku bertanya, tidakkah perawat-perawat ini tersinggung dengan apa yang dilakukan kawanku. Meskipun bukan kewenangannya, setidaknya sebagai pekerja di tempat tersebut ia menyampaikan kepada pimpinannya. Bagaimana mereka bisa bekerja secara maksimal dalam kondisi gelap?
Dalam gelap seorang perawat memecah sunyi dengan pertanyaan yang tak pernah kuduga. Mulai dari hal umum seperti mahasiswa dari kampus mana, jurusan apa, sudah semester berapa hingga hal-hal yang menurutku tidak perlu dipertanyakan seperti sudah punya pacar atau belum?
Ada hal yang lebih penting dibicarakan dari pada pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan, yaitu kondisi peserta yang kubawa bersama panitia yang lain. Untuk meredam pertanyaan yang ditujukan kepadaku secara bertubi-tubi yang kujawab sekenanya, akhirnya aku bertanya balik. Pertama terkait kondisi peserta yang kubawa, katanya masih normal. Kedua, apa tindakan yang akan dilakukan, katanya belum bisa ditindaki lebih lanjut karena listrik masih padam dan kami hanya diminta untuk bersabar sambil menunggu reaksi obat yang telah diberikan.
Setelah memastikan bahwa kondisi peserta yang kubawa tidak tambah parah, kali ini aku yang menyerang perawat tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan seputar puskemas dan profesinya. Kenapa puskesmas ini tidak memiliki genset padahal sudah beberapa minggu listrik sering dipadamkan secara bergiliran? Bukankah ini memberikan rasa tidak nyaman kepada pasien? Bagaimana ketika tiba-tiba ada pasien gawat darurat yang datang dan harus segera ditindaki? Sudah berapa lama bekerja disini? Nyaman bekerja dalam kondisi gelap seperti ini?
Kupikir pertanyaan-pertanyaanku akan dijawab juga sekenya, ternyata tidak. Justru pertanyaan baru yang ia lontarkan, pasti aktif berorganisasi? Kentara sih dari cara bicaranya! Tapi kenapa bertanya terkait hal tersebut?
Dengan sedikit jengkel, aku berpikir untuk mengerjainya karena terlalu rewel. Pertanyaannya kujawab bahwa aku suka menulis. Beberapa tulisanku telah dimuat di koran dan puskesmas ini menarik untuk menjadi bahan tulisanku.
Setelah kujawab, perawat tersebut hemat bicara. Ngomong seperlunya.
Puskesmas seharusnya mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Hal teknis seperti genset sudah seharusnya ada di tiap-tiap puskesmas agar pasien dan perawat tidak gelap-gelapan ketika terjadi pemadaman listrik pada malam hari. Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi instansi dan seluruh stageholder terkait. Terdengar sederhana, tapi keberadaannya begitu penting. Kenyaman dan keamanan pasien adalah hal yang utama!
Puskesmas itu pusat kesehatan masyarakat, jangan sampai menjadi pusat kegelapan sunyi masyarakat.
Sabtu, 16 September 2023
OBAT ITU BERNAMA IBU
Ibu: loh, kok pulang?
Katanya ada kegiatan!
A: aku sakit bu.
Beberapa hari yang lalu ia dikabari oleh ibunya bahwa akan diadakan acara keluarga dan ia diminta untuk hadir sebab sudah banyak moment ngumpul bersama keluarga besar yang ia lewatkan. Namun seperti biasa, ia selalu menolak dengan alasan yang sama pula, sibuk kegiatan. Ibunya tidak pernah mempersoalkan jika ia tidak pulang karena sibuk mengurus lembaga, termasuk ketika libur semester. Ketika mahasiswa lain pulang kampung, ia masih saja disibukkan dengan berbagai macam kegiatan.
Banyak organisasi dan kegiatan yang ia ikuti. Hingga
akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada satu organisasi saja. Mengingat ia juga
telah lewat 4 tahun masa studi. Ia bergabung dengan organisasi tersebut sejak
semester 4, proses kaderisasi yang panjang dan berjenjang sering kali membuat
ia berpikir untuk berhenti di tengah jalan. Namun ia memilih untuk tetap
bertahan.
Tiada hari yang ia lewatkan berada di sekretariat. Apapun
yang ia miliki akan diberikan demi kepentingan organisasi. Materi, tenaga, dan
pikiran, termasuk menunda untuk selesai masa studi. Alasannya sederhana, ia
tidak ingin meninggalkan organisasi tersebut dalam keadaan terlontang-lantung tanpa arah yang jelas. Sebab
pandemi menghajarnya habis-habisan.
Sudah masuk hari keempat ia sakit, dua hari sebelumnya
masih ia paksakan untuk tetap mendampingi jalannya kepanitiaan. Inisiatif itu
belum tumbuh diantara adik-adiknya sehingga harus betul-betul dikawal untuk
bergerak. Sepertinya sulit menyelamatkan mereka jika melihat waktu yang
tersisa. Bagaimanapun, ia harus selesai studi tahun ini. Bukan nilai tawar
lagi.
Selama ia berorganisasi, belum pernah selelah ini katanya.
Bagaimana tidak, ia rangkap hingga empat jabatan sekaligus. Ketua, bendahara,
koordinator pendidikan dan pelatihan, juga sering sebagai sekretaris. Hati
kecilku bicara “loh, kok mirip Lord Luh*t yah!” bedanya mungkin lord digaji, dia cuma-cuma. Namanya juga organisasi, bukan perusahaan!
Masuk hari kelima, tidak seorangpun yang peduli dari organisasi yang ia hidupi dengan kondisinya. Bahkan berkabar untuk menanyakan keadaannyapun tidak ada. Akhirnya ia paksakan untuk pulang ke rumah, bertemu dengan ibu dan keluarganya.
Dari sini ia sadar bahwa sebaik-baiknya tempat untuk berobat adalah rumah dan sebaik-baiknya obat adalah ibu! Keluarga selalu ada dalam kondisi apapun, sekalipun mereka sering dinomorduakan.
Selasa, 29 Agustus 2023
POHON, BICARALAH!
Seorang
kawan bercerita dan keheranan melihat para calon legislator dan pemimpin bangsa
ini bercerita tentang kualitas udara di setiap kota. Sementara balihonya bertebaran
dan terpaku di sepanjang jalan. Seolah menggunakan standar ganda, mengkritik
kualitas udara sementara disisi lain secara sadar mereka juga pelaku atas
fenomena yang terjadi. Meski dianggap hal sepele, memaku pohon tentu akan
mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas pohon. Pohon punya peran penting dalam
menyerap karbon dioksida. Karbon dioksida jika diabaikan maka akan terakumulasi
di atmosfer dan berpotensi menyebabkan pemanasan global dan dalam jangka
panjang akan mengakibatkan perubahan iklim yang berbahaya bagi kehidupan
manusia. Artinya, menjaga pohon sama saja menjaga kehidupan manusia dikemudian
hari.
Katanya,
meski mereka tahu dampak yang ditimbulkan namun alasan efisien dan ekonomis
sehingga mereka melakukan hal tersebut apalagi menjelang pemilu seperti ini. Tahukan,
biaya pemilu untuk duduk di parlemen dan pemerintahan tidak murah hehe!
Meski
Demikian, Jika dilihat dari perspektif etika lingkungan hidup maka perilaku
tersebut dapat disebut antroposentrisme. Antroposentrisme merupakan paham bahwa
manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripada spesies makhluk
lainnya atau penilaian kenyataan melalui sudut pandang manusia yang eksklusif. Sederhananya,
yang penting manusia (mereka) suka atau senang, tidak ada urusan dengan makhluk
lainnya.
Ia
juga bercerita bahwa beberapa negara di belahan dunia, memaku atau memasang
logam ke pohon merupakan aksi mereka untuk menyelamatkan pohon dari para
penebang liar. Sebab, apabila para penebang liar menebang pohon dengan gergaji
mesin kemudian mengenai paku atau logam dapat membahayakan keselamatan para
penebang tersebut. Di sisi lain, kayu yang terdapat logam akan mengalami
penurunan harga.
Hal yang paling membuat kawan saya heran adalah stageholder
terkait itu diam saja melihat fenomena tersebut. Dinas lingkungan hidup
misalnya, seolah melakukan pembiaran. Apalagi polisi pamong praja, biasanya
melakukan penertiban (penggusuran) pedagang kaki lima yang dinilai mengganggu
pengguna jalan raya. Padahal dengan jelas tertuang dalam Pasal 102 ayat (2) UU
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa pemasangan
alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan,
dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bukannya baliho-baliho yang bertebaran itu justru
mengganggu etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota? Kalau begitu
bubarkan saja lembaganya karena tidak bekerja, sama seperti KPK. Lah kok mirip Bu
Mega yah, main bubar-bubarin. Toh, belum waktunya kampanye. Terus kalau bukan kampanye, baliho yang bertebaran itu untuk apa? Yah sudah, bikin
pusing saja hehe!
Andai saja pohon bisa memilih untuk tidak menjadi pohon.
Mungkin ia akan lebih memilih untuk menjadi lampu jalan, tidak lagi dipaku.
Ketika malam tiba ia mampu menerangi jalan-jalan kota yang penuh polusi. Atau
mungkin memilih menjadi beton yang ditanam dan menjulang. Seandainya pohon bisa
bicara, mungkin kalimat yang terucap adalah sumpah serapah kepada manusia yang
hanya mementingkan dirinya sendiri. Kepada orang-orang yang tidak mementingkan
keseimbangan antara manusia dengan alam.
Sungguh malang nasib pohon menjelang pemilu, harus bertemu dengan orang-orang yang merusak pohon, kota, dan orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang katanya mereka perjuangkan. Jika baru calon saja mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, apalagi ketika mereka sudah terpilih nanti. Yakin mau pilih orang seperti itu? Kalau kata kawan saya sih mending golput saja haha! Kalau kamu gimana?
Jumat, 12 Mei 2023
OBJEK WISATA: DUA SISI MATA PISAU
Malam semakin larut, angin laut berhembus dari arah belakang rumah ketika hujan turun tak kenal waktu. Lelaki itu masih saja dengan gawainya. Tiba-tiba satu pesan masuk, sebuah foto bongkahan batu gajah tertimbun tanah yang menjorok ke laut.
Lelaki itu telah berusaha
untuk tertidur, namun tetap tidak bisa. Foto yang baru saja ia lihat berkecamuk
dalam kepalanya.
Lelaki itu kemudian
teringat peristiwa beberapa tahun silam, di pantai tersebut pernah terjadi abrasi. Abrasi sempat mengambil separuh badan jalan. Namun, beberapa tahun
terakhir kembali normal. Bumi memperbaiki dirinya sendiri.
Foto penimbunan atau mungkin
bisa disebut reklamasi tersebut diambil dari salah satu objek wisata yang ada
di desanya. Kemungkinan reklamasi itu akan dijadikan salah satu spot foto,
untuk menarik lebih banyak wisatawan. Mengingat lokasi tersebut merupakan spot
terbaik untuk melihat matahari tenggelam.
Namun menurutnya, apa
yang dilakukan oleh pihak pengelola tersebut akan sangat merugikan masyarakat.
Lelaki itu kemudian membuka
memori di kepalanya, tentang percakapannya dengan salah seorang mantan karyawan
yang sempat bekerja disana. Ia menceritakan bagaimana kemudian jahatnya
perusahaan yang tidak memberikan haknya selama beberapa bulan. Dan akhirnya ia
memilih untuk berhenti bekerja. Bukan hanya dirinya, juga beberapa rekannya yang
merasakan hal serupa.
Awal hadirnya objek wisata
tersebut, cukup membantu perekonomian masyarakat sekitar karena mayoritas
karyawannya adalah masyarakat lokal. Juga masyarakat yang menjual aneka makanan
dan minuman cukup laris manis.
Namun seiring berjalannya
waktu, masalah mulai muncul. Satu-persatu masyarakat lokal yang dijadikan
karyawan mulai tergantikan oleh orang-orang dari luar. Parahnya lagi, beberapa
orang memilih untuk berhenti karena tidak diberikan gaji selama beberapa bulan
dan hingga hari ini belum dibayarkan.
Lelaki itu mengulik lebih
dalam ingatannya, ia kembali mengingat sebuah peristiwa ketika ikut dalam
sebuah diskusi publik yang dilakukan oleh pemerintah setempat terkait pengelolaan
pariwisata. Diskusi itu dilakukan setelah pemerintah setempat melakukan study
banding ke salah satu desa wisata yang ada di Daerah Istimewa Jogjakarta. Pada kesempatan
tersebut, ia mengajukan pertanyaan sederhana. Sejauh ini, apa kontribusi objek
wisata yang ada di desa kita dalam pembangunan desa?
Jawabnya dengan tegas,
sampah! Sejauh ini kontribusinya adalah sampah. Meningkatnya kuantitas
pengunjung yang menikmati waktu libur di objek wisata tersebut juga
meningkatkan jumlah sampah yang berserakan di sepanjang jalan. Hal tersebut
tidak terlepas dari perilaku wisatawan yang masih sering buang sampah sembarang
dan ini sangat merugikan masyarakat.
Lelaki itu mengulik lebih
jauh lagi ingatannya, ketika masih kanak-kanak ia melihat kerbau dan sapi
peliharaan masyarakat yang digiring di pinggir pantai menuju kandang masing-masing.
Namun sore tadi, ia melihat hewan peliharaan masyarakat itu kini menghiasi
jalan raya dan mengganggu aktivitas pengendara yang melewati jalan itu. Hewan
peliharaan itu digiring di jalan raya bukan tanpa sebab, tapi jalan yang sering
mereka lalui dulu, kini ditutup oleh pihak pengelola objek wisata. Sehingga tidak
ada pilihan lain, jalan tersebutlah solusi agar hewan tersebut bisa sampai ke
kandang.
Objek wisata yang
seharusnya dibanggakan oleh masyarakat sekitar, justru malah merugikan
masyarakat itu sendiri.
Kembali kepersoalan
reklamasi. Ini masalah baru lagi, cepat atau lambat masyarakat akan kehilangan
sumber mata pencahariannya. Selain bertani dan beternak, mayoritas mata
pencaharian masyarakat pesisir di Desa tersebut adalah nelayan tradisional. Orang-orang
disana menyebutnya Parempa. Parempa sudah pasti tidak bisa lagi menebar jaring
di area tersebut. Selain itu, ikan akan semakin jauh ke tengah laut. Jika itu
terjadi, jaring parempa tidak akan bisa menjangkaunya.
Masalah akan terus muncul
ketika hal ini didiamkan dan dibiarkan, kata lelaki itu dalam hatinya. Jika
pemerintah diam, maka ia harus bergerak. Namun ia sadar bahwa hal tersebut
tidak bisa ia selesaikan seorang diri. Ia butuh kawan, melawan segala persoalan
yang ada. Bersediakah anda menjadi kawannya?