Sabtu, 16 Maret 2024

PENDAKI; SAMPAH!

Gunung Bawakaraeng atau Bulu’ Bawakaraeng – satu dari sekian gunung yang ada di sulawesi selatan dengan keindahan yang senantiasa membuat orang selalu ingin kembali kesana, meski jalurnya cukup melelahkan.

Gunung ini menjadi awal cerita perjalanan di tahun 2024. Perjalanan yang penuh romantika. Mulai dari motor yang rusak di jalan, orang-orang baik yang membantu agar motor kembali menyala, hujan dan kabut sepanjang jalur pendakian. 

Perjalanan kemarin juga menyimpan banyak tanda tanya di kepala. Bagaimana tidak, niat ingin melihat dan menikmati keindahan alam gunung bawakaraeng justru dipatahkan oleh banyaknya sampah yang berserakan di sepanjang jalur pendakian. Parahnya lagi, aliran airpun juga terkontaminasi oleh sampah plastik akibat ulah orang-orang yang kurang bertanggung jawab.

Tulisan “water for life” pada sebuah papan berwarna hijau yang terdapat pada aliran sungai di pos 8 sepertinya tidak dipahami oleh sebagian orang. Buktinya, banyak tumpukan sampah di sekitar aliran sungai. Padahal, sungai tersebut adalah tempat beristirahat ternyaman setelah melalui lika-liku perjalanan dari pos 7-8. Jalur yang banyak meruntuhkan semangat para pendaki. Tiba di sungai tersebut, seolah terlahir kembali.

Tidak boleh meninggalkan apapun kecuali jejak - sepertinya juga salah diartikan. Jejak yang dimaksud ialah bekas tapak kaki, bukan plastik sisa makanan atau jas hujan yang sobek karena tersangkut pada ranting pohon. Sangat disayangkan jika perilaku seperti itu dilakukan secara terus menerus.

Siapapun yang membaca tulisan ini dan senang berpetualang kemanapun itu – termasuk ke gunung, ayolah bung! Sampah-sampah sisa makananmu itu jauh lebih ringan dari sebelumnya. Tidak seberat ketika kau bawa naik ke gunung. Bawalah turun, kalau perlu bawa kembali ke titik awal perjalananmu. Jangan tinggalkan di gunung. Orang-orang setelahmu ingin menikmati suasana yang asri dan pemandangan yang indah, bukan menikmati sampah-sampahmu. 

Ingin rasanya membawa semua sampah-sampah tersebut turun ke desa terakhir. Namun apa daya, jumlahnya tidak memungkinkan untuk dibawa sendiri. Jikalau ada yang merasakan keresahan yang sama, yok atur jadwal. Kita sapu jalur, sebisanya!

Kamis, 26 Oktober 2023

PUSKESMAS; PUSAT KEGELAPAN SUNYI MASYARAKAT

Ilustrasi. Foto: Net

Angin laut berhembus membelaiku, dalam tidur seolah banyak orang yang mencariku. Kukira aku sedang bermimpi, ternyata memang banyak yang mencariku. Seorang peserta tiba-tiba sakit, Ia merasa sesak nafas. Ia memang memiliki riwayat penyakit. Seketika semua orang panik. Dalam gelap, mobil menuju pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat.

Setibanya, ia diminta untuk baring. Juga diminta untuk meminum obat yang diberikan oleh perawat. Tak ada dokter malam itu, barangkali juga malam-malam sebelumnya, tidak ada dokter yang menetap 24 jam. Kata perawat, obat itu sesuai instruksi dokter melalui via telephone.

Beberapa minggu terakhir listrik sering padam secara bergiliran, entah apa penyebabnya. Mirisnya, puskesmas tersebut tidak mengantisipasi pemadam listrik tersebut sehingga pasien gelap-gelapan ketika terjadi pada malam hari. Seharusnya setiap puskesmas dilengkapi fasilitas seperti genset agar tidak gelap ketika listrik padam pada malam hari.

Dari luar puskesmas, seorang kawan inisiatif untuk tetap menyalakan mobilnya agar dapat menerangi peserta yang terlihat masih sesak nafas. Dalam hatiku bertanya, tidakkah perawat-perawat ini tersinggung dengan apa yang dilakukan kawanku. Meskipun bukan kewenangannya, setidaknya sebagai pekerja di tempat tersebut ia menyampaikan kepada pimpinannya. Bagaimana mereka bisa bekerja secara maksimal dalam kondisi gelap?

Dalam gelap seorang perawat memecah sunyi dengan pertanyaan yang tak pernah kuduga. Mulai dari hal umum seperti mahasiswa dari kampus mana, jurusan apa, sudah semester berapa hingga hal-hal yang menurutku tidak perlu dipertanyakan seperti sudah punya pacar atau belum?

Ada hal yang lebih penting dibicarakan dari pada pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan, yaitu kondisi peserta yang kubawa bersama panitia yang lain. Untuk meredam pertanyaan yang ditujukan kepadaku secara bertubi-tubi yang kujawab sekenanya, akhirnya aku bertanya balik. Pertama terkait kondisi peserta yang kubawa, katanya masih normal. Kedua, apa tindakan yang akan dilakukan, katanya belum bisa ditindaki lebih lanjut karena listrik masih padam dan kami hanya diminta untuk bersabar sambil menunggu reaksi obat yang telah diberikan.

Setelah memastikan bahwa kondisi peserta yang kubawa tidak tambah parah, kali ini aku yang menyerang perawat tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan seputar puskemas dan profesinya. Kenapa puskesmas ini tidak memiliki genset padahal sudah beberapa minggu listrik sering dipadamkan secara bergiliran? Bukankah ini memberikan rasa tidak nyaman kepada pasien? Bagaimana ketika tiba-tiba ada pasien gawat darurat yang datang dan harus segera ditindaki? Sudah berapa lama bekerja disini? Nyaman bekerja dalam kondisi gelap seperti ini?

Kupikir pertanyaan-pertanyaanku akan dijawab juga sekenya, ternyata tidak. Justru pertanyaan baru yang ia lontarkan, pasti aktif berorganisasi? Kentara sih dari cara bicaranya! Tapi kenapa bertanya terkait hal tersebut?

Dengan sedikit jengkel, aku berpikir untuk mengerjainya karena terlalu rewel. Pertanyaannya kujawab bahwa aku suka menulis. Beberapa tulisanku telah dimuat di koran dan puskesmas ini menarik untuk menjadi bahan tulisanku.

Setelah kujawab, perawat tersebut hemat bicara. Ngomong seperlunya.

Puskesmas seharusnya mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Hal teknis seperti genset sudah seharusnya ada di tiap-tiap puskesmas agar pasien dan perawat tidak gelap-gelapan ketika terjadi pemadaman listrik pada malam hari. Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi instansi dan seluruh stageholder terkait. Terdengar sederhana, tapi keberadaannya begitu penting. Kenyaman dan keamanan pasien adalah hal yang utama!

Puskesmas itu pusat kesehatan masyarakat, jangan sampai menjadi pusat kegelapan sunyi masyarakat.

 

Sabtu, 16 September 2023

OBAT ITU BERNAMA IBU


Ibu: loh, kok pulang? Katanya ada kegiatan!

A: aku sakit bu.

Beberapa hari yang lalu ia dikabari oleh ibunya bahwa akan diadakan acara keluarga dan ia diminta untuk hadir sebab sudah banyak moment ngumpul bersama keluarga besar yang ia lewatkan. Namun seperti biasa, ia selalu menolak dengan alasan yang sama pula, sibuk kegiatan. Ibunya tidak pernah mempersoalkan jika ia tidak pulang karena sibuk mengurus lembaga, termasuk ketika libur semester. Ketika mahasiswa lain pulang kampung, ia masih saja disibukkan dengan berbagai macam kegiatan.

Banyak organisasi dan kegiatan yang ia ikuti. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada satu organisasi saja. Mengingat ia juga telah lewat 4 tahun masa studi. Ia bergabung dengan organisasi tersebut sejak semester 4, proses kaderisasi yang panjang dan berjenjang sering kali membuat ia berpikir untuk berhenti di tengah jalan. Namun ia memilih untuk tetap bertahan.

Tiada hari yang ia lewatkan berada di sekretariat. Apapun yang ia miliki akan diberikan demi kepentingan organisasi. Materi, tenaga, dan pikiran, termasuk menunda untuk selesai masa studi. Alasannya sederhana, ia tidak ingin meninggalkan organisasi tersebut dalam keadaan   terlontang-lantung tanpa arah yang jelas. Sebab pandemi menghajarnya habis-habisan.

Sudah masuk hari keempat ia sakit, dua hari sebelumnya masih ia paksakan untuk tetap mendampingi jalannya kepanitiaan. Inisiatif itu belum tumbuh diantara adik-adiknya sehingga harus betul-betul dikawal untuk bergerak. Sepertinya sulit menyelamatkan mereka jika melihat waktu yang tersisa. Bagaimanapun, ia harus selesai studi tahun ini. Bukan nilai tawar lagi.

Selama ia berorganisasi, belum pernah selelah ini katanya. Bagaimana tidak, ia rangkap hingga empat jabatan sekaligus. Ketua, bendahara, koordinator pendidikan dan pelatihan, juga sering sebagai sekretaris. Hati kecilku bicara “loh, kok mirip Lord Luh*t yah!” bedanya mungkin lord digaji, dia cuma-cuma. Namanya juga organisasi, bukan perusahaan!

Masuk hari kelima, tidak seorangpun yang peduli dari organisasi yang ia hidupi dengan kondisinya. Bahkan berkabar untuk menanyakan keadaannyapun tidak ada. Akhirnya ia paksakan untuk pulang ke rumah, bertemu dengan ibu dan keluarganya.

Dari sini ia sadar bahwa sebaik-baiknya tempat untuk berobat adalah rumah dan sebaik-baiknya obat adalah ibu! Keluarga selalu ada dalam kondisi apapun, sekalipun mereka sering dinomorduakan. 


Selasa, 29 Agustus 2023

POHON, BICARALAH!



Seorang kawan bercerita dan keheranan melihat para calon legislator dan pemimpin bangsa ini bercerita tentang kualitas udara di setiap kota. Sementara balihonya bertebaran dan terpaku di sepanjang jalan. Seolah menggunakan standar ganda, mengkritik kualitas udara sementara disisi lain secara sadar mereka juga pelaku atas fenomena yang terjadi. Meski dianggap hal sepele, memaku pohon tentu akan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas pohon. Pohon punya peran penting dalam menyerap karbon dioksida. Karbon dioksida jika diabaikan maka akan terakumulasi di atmosfer dan berpotensi menyebabkan pemanasan global dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan perubahan iklim yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Artinya, menjaga pohon sama saja menjaga kehidupan manusia dikemudian hari.

Katanya, meski mereka tahu dampak yang ditimbulkan namun alasan efisien dan ekonomis sehingga mereka melakukan hal tersebut apalagi menjelang pemilu seperti ini. Tahukan, biaya pemilu untuk duduk di parlemen dan pemerintahan tidak murah hehe!

Meski Demikian, Jika dilihat dari perspektif etika lingkungan hidup maka perilaku tersebut dapat disebut antroposentrisme. Antroposentrisme merupakan paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripada spesies makhluk lainnya atau penilaian kenyataan melalui sudut pandang manusia yang eksklusif. Sederhananya, yang penting manusia (mereka) suka atau senang, tidak ada urusan dengan makhluk lainnya.

Ia juga bercerita bahwa beberapa negara di belahan dunia, memaku atau memasang logam ke pohon merupakan aksi mereka untuk menyelamatkan pohon dari para penebang liar. Sebab, apabila para penebang liar menebang pohon dengan gergaji mesin kemudian mengenai paku atau logam dapat membahayakan keselamatan para penebang tersebut. Di sisi lain, kayu yang terdapat logam akan mengalami penurunan harga.

            Hal yang paling membuat kawan saya heran adalah stageholder terkait itu diam saja melihat fenomena tersebut. Dinas lingkungan hidup misalnya, seolah melakukan pembiaran. Apalagi polisi pamong praja, biasanya melakukan penertiban (penggusuran) pedagang kaki lima yang dinilai mengganggu pengguna jalan raya. Padahal dengan jelas tertuang dalam Pasal 102 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa pemasangan alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bukannya baliho-baliho yang bertebaran itu justru mengganggu etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota? Kalau begitu bubarkan saja lembaganya karena tidak bekerja, sama seperti KPK. Lah kok mirip Bu Mega yah, main bubar-bubarin. Toh, belum waktunya kampanye. Terus kalau bukan kampanye, baliho yang bertebaran itu untuk apa? Yah sudah, bikin pusing saja hehe!

            Andai saja pohon bisa memilih untuk tidak menjadi pohon. Mungkin ia akan lebih memilih untuk menjadi lampu jalan, tidak lagi dipaku. Ketika malam tiba ia mampu menerangi jalan-jalan kota yang penuh polusi. Atau mungkin memilih menjadi beton yang ditanam dan menjulang. Seandainya pohon bisa bicara, mungkin kalimat yang terucap adalah sumpah serapah kepada manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Kepada orang-orang yang tidak mementingkan keseimbangan antara manusia dengan alam.

Sungguh malang nasib pohon menjelang pemilu, harus bertemu dengan orang-orang yang merusak pohon, kota, dan orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang katanya mereka perjuangkan. Jika baru calon saja mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, apalagi ketika mereka sudah terpilih nanti. Yakin mau pilih orang seperti itu? Kalau kata kawan saya sih mending golput saja haha! Kalau kamu gimana?

Jumat, 12 Mei 2023

OBJEK WISATA: DUA SISI MATA PISAU

Malam semakin larut, angin laut berhembus dari arah belakang rumah ketika hujan turun tak kenal waktu. Lelaki itu masih saja dengan gawainya. Tiba-tiba satu pesan masuk, sebuah foto bongkahan batu gajah tertimbun tanah yang menjorok ke laut.

Lelaki itu telah berusaha untuk tertidur, namun tetap tidak bisa. Foto yang baru saja ia lihat berkecamuk dalam kepalanya.

Lelaki itu kemudian teringat peristiwa beberapa tahun silam, di pantai tersebut pernah terjadi abrasi. Abrasi sempat mengambil separuh badan jalan. Namun, beberapa tahun terakhir kembali normal. Bumi memperbaiki dirinya sendiri.

Foto penimbunan atau mungkin bisa disebut reklamasi tersebut diambil dari salah satu objek wisata yang ada di desanya. Kemungkinan reklamasi itu akan dijadikan salah satu spot foto, untuk menarik lebih banyak wisatawan. Mengingat lokasi tersebut merupakan spot terbaik untuk melihat matahari tenggelam.

Namun menurutnya, apa yang dilakukan oleh pihak pengelola tersebut akan sangat merugikan masyarakat.

Lelaki itu kemudian membuka memori di kepalanya, tentang percakapannya dengan salah seorang mantan karyawan yang sempat bekerja disana. Ia menceritakan bagaimana kemudian jahatnya perusahaan yang tidak memberikan haknya selama beberapa bulan. Dan akhirnya ia memilih untuk berhenti bekerja. Bukan hanya dirinya, juga beberapa rekannya yang merasakan hal serupa.

Awal hadirnya objek wisata tersebut, cukup membantu perekonomian masyarakat sekitar karena mayoritas karyawannya adalah masyarakat lokal. Juga masyarakat yang menjual aneka makanan dan minuman cukup laris manis.

Namun seiring berjalannya waktu, masalah mulai muncul. Satu-persatu masyarakat lokal yang dijadikan karyawan mulai tergantikan oleh orang-orang dari luar. Parahnya lagi, beberapa orang memilih untuk berhenti karena tidak diberikan gaji selama beberapa bulan dan hingga hari ini belum dibayarkan.

Lelaki itu mengulik lebih dalam ingatannya, ia kembali mengingat sebuah peristiwa ketika ikut dalam sebuah diskusi publik yang dilakukan oleh pemerintah setempat terkait pengelolaan pariwisata. Diskusi itu dilakukan setelah pemerintah setempat melakukan study banding ke salah satu desa wisata yang ada di Daerah Istimewa Jogjakarta. Pada kesempatan tersebut, ia mengajukan pertanyaan sederhana. Sejauh ini, apa kontribusi objek wisata yang ada di desa kita dalam pembangunan desa?

Jawabnya dengan tegas, sampah! Sejauh ini kontribusinya adalah sampah. Meningkatnya kuantitas pengunjung yang menikmati waktu libur di objek wisata tersebut juga meningkatkan jumlah sampah yang berserakan di sepanjang jalan. Hal tersebut tidak terlepas dari perilaku wisatawan yang masih sering buang sampah sembarang dan ini sangat merugikan masyarakat.

Lelaki itu mengulik lebih jauh lagi ingatannya, ketika masih kanak-kanak ia melihat kerbau dan sapi peliharaan masyarakat yang digiring di pinggir pantai menuju kandang masing-masing. Namun sore tadi, ia melihat hewan peliharaan masyarakat itu kini menghiasi jalan raya dan mengganggu aktivitas pengendara yang melewati jalan itu. Hewan peliharaan itu digiring di jalan raya bukan tanpa sebab, tapi jalan yang sering mereka lalui dulu, kini ditutup oleh pihak pengelola objek wisata. Sehingga tidak ada pilihan lain, jalan tersebutlah solusi agar hewan tersebut bisa sampai ke kandang.

Objek wisata yang seharusnya dibanggakan oleh masyarakat sekitar, justru malah merugikan masyarakat itu sendiri.

Kembali kepersoalan reklamasi. Ini masalah baru lagi, cepat atau lambat masyarakat akan kehilangan sumber mata pencahariannya. Selain bertani dan beternak, mayoritas mata pencaharian masyarakat pesisir di Desa tersebut adalah nelayan tradisional. Orang-orang disana menyebutnya Parempa. Parempa sudah pasti tidak bisa lagi menebar jaring di area tersebut. Selain itu, ikan akan semakin jauh ke tengah laut. Jika itu terjadi, jaring parempa  tidak akan bisa menjangkaunya.

Masalah akan terus muncul ketika hal ini didiamkan dan dibiarkan, kata lelaki itu dalam hatinya. Jika pemerintah diam, maka ia harus bergerak. Namun ia sadar bahwa hal tersebut tidak bisa ia selesaikan seorang diri. Ia butuh kawan, melawan segala persoalan yang ada. Bersediakah anda menjadi kawannya?

 

Senin, 24 April 2023

HARAP


Hari ini, ia sama seperti februari. Ia yang masih bimbang dan terjebak dalam ruang hampa.

Kuharap ia kembali seperti Juni yang riang dan jenaka. Di balik tawa dan senyumnya bersemayam semangat dan harapan.

Kuharap, cukup sampai Juni. Tak perlu ada Juli yang pilu.

[Ruang Imaji, 16/7/2022]

Minggu, 01 Januari 2023

TIDURLAH


Entah sudah pukul berapa, secangkir kopi tadi membuatku terjaga hingga menjelang pagi. Di belakang rumah, gemuruh air laut terdengar riuh. Langit gelap tanpa bintang setelah diserbu petasan yang tak terhitung jumlahnya. Do'a-do'a dan harapan juga turut dilangitkan. Orang-orang menyambutnya begitu ria, seolah hadir memberikan kebahagiaan.

Tak ada resolusi, sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Berjalan kemanapun kaki membawanya, sesuai hati dan pikiran.

Pembicaraan hari inipun masih seputar hari kemarin. Orang-orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, pekerjaan yang begitu-begitu saja, organisasi yang redup, hingga judul skripsi khas mahasiswa tingkat akhir yang sebentar lagi akan menanggalkan status mahasiswanya namun masih terkendala satu nilai mata kuliah eror karena dosen killer.

Sudah kucoba berulangkali; lampu sudah kupadamkan, beberapa lagu payung teduh telah kuputar. Tapi masih saja tidak bisa.

Kucoba mengingat kembali beberapa moment berkesan di tahun 2022. Menjadi Ketua Himpunan, Bakti Sosial di Kampung Walemping, 3000 MDPL pertama, Kuliah Kerja Nyata di Sepang (Nama dusun di Polewali Mandar, bukan di Malaysia). Dalam setiap moment selalu bertemu orang baru, keluarga baru. Mencicipi makanan dan minuman khas daerah itu. Saya yakin, meskipun ada di daerah lain namun rasanya pasti berbeda. Sungguh pengalaman yang rasanya sulit diulang.

Tidurlah, 
Malam terlalu malam.
Pagi terlalu, pagi.
Begitulah lirik lagu yang terdengar ketika saya terbangun.