![]() |
Ilustrasi. Foto: Net |
Angin laut berhembus membelaiku, dalam tidur seolah banyak orang yang mencariku. Kukira aku sedang bermimpi, ternyata memang banyak yang mencariku. Seorang peserta tiba-tiba sakit, Ia merasa sesak nafas. Ia memang memiliki riwayat penyakit. Seketika semua orang panik. Dalam gelap, mobil menuju pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat.
Setibanya, ia diminta untuk baring. Juga diminta untuk meminum obat yang diberikan oleh perawat. Tak ada dokter malam itu, barangkali juga malam-malam sebelumnya, tidak ada dokter yang menetap 24 jam. Kata perawat, obat itu sesuai instruksi dokter melalui via telephone.
Beberapa minggu terakhir listrik sering padam secara bergiliran, entah apa penyebabnya. Mirisnya, puskesmas tersebut tidak mengantisipasi pemadam listrik tersebut sehingga pasien gelap-gelapan ketika terjadi pada malam hari. Seharusnya setiap puskesmas dilengkapi fasilitas seperti genset agar tidak gelap ketika listrik padam pada malam hari.
Dari luar puskesmas, seorang kawan inisiatif untuk tetap menyalakan mobilnya agar dapat menerangi peserta yang terlihat masih sesak nafas. Dalam hatiku bertanya, tidakkah perawat-perawat ini tersinggung dengan apa yang dilakukan kawanku. Meskipun bukan kewenangannya, setidaknya sebagai pekerja di tempat tersebut ia menyampaikan kepada pimpinannya. Bagaimana mereka bisa bekerja secara maksimal dalam kondisi gelap?
Dalam gelap seorang perawat memecah sunyi dengan pertanyaan yang tak pernah kuduga. Mulai dari hal umum seperti mahasiswa dari kampus mana, jurusan apa, sudah semester berapa hingga hal-hal yang menurutku tidak perlu dipertanyakan seperti sudah punya pacar atau belum?
Ada hal yang lebih penting dibicarakan dari pada pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan, yaitu kondisi peserta yang kubawa bersama panitia yang lain. Untuk meredam pertanyaan yang ditujukan kepadaku secara bertubi-tubi yang kujawab sekenanya, akhirnya aku bertanya balik. Pertama terkait kondisi peserta yang kubawa, katanya masih normal. Kedua, apa tindakan yang akan dilakukan, katanya belum bisa ditindaki lebih lanjut karena listrik masih padam dan kami hanya diminta untuk bersabar sambil menunggu reaksi obat yang telah diberikan.
Setelah memastikan bahwa kondisi peserta yang kubawa tidak tambah parah, kali ini aku yang menyerang perawat tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan seputar puskemas dan profesinya. Kenapa puskesmas ini tidak memiliki genset padahal sudah beberapa minggu listrik sering dipadamkan secara bergiliran? Bukankah ini memberikan rasa tidak nyaman kepada pasien? Bagaimana ketika tiba-tiba ada pasien gawat darurat yang datang dan harus segera ditindaki? Sudah berapa lama bekerja disini? Nyaman bekerja dalam kondisi gelap seperti ini?
Kupikir pertanyaan-pertanyaanku akan dijawab juga sekenya, ternyata tidak. Justru pertanyaan baru yang ia lontarkan, pasti aktif berorganisasi? Kentara sih dari cara bicaranya! Tapi kenapa bertanya terkait hal tersebut?
Dengan sedikit jengkel, aku berpikir untuk mengerjainya karena terlalu rewel. Pertanyaannya kujawab bahwa aku suka menulis. Beberapa tulisanku telah dimuat di koran dan puskesmas ini menarik untuk menjadi bahan tulisanku.
Setelah kujawab, perawat tersebut hemat bicara. Ngomong seperlunya.
Puskesmas seharusnya mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Hal teknis seperti genset sudah seharusnya ada di tiap-tiap puskesmas agar pasien dan perawat tidak gelap-gelapan ketika terjadi pemadaman listrik pada malam hari. Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi instansi dan seluruh stageholder terkait. Terdengar sederhana, tapi keberadaannya begitu penting. Kenyaman dan keamanan pasien adalah hal yang utama!
Puskesmas itu pusat kesehatan masyarakat, jangan sampai menjadi pusat kegelapan sunyi masyarakat.