Seorang
kawan bercerita dan keheranan melihat para calon legislator dan pemimpin bangsa
ini bercerita tentang kualitas udara di setiap kota. Sementara balihonya bertebaran
dan terpaku di sepanjang jalan. Seolah menggunakan standar ganda, mengkritik
kualitas udara sementara disisi lain secara sadar mereka juga pelaku atas
fenomena yang terjadi. Meski dianggap hal sepele, memaku pohon tentu akan
mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas pohon. Pohon punya peran penting dalam
menyerap karbon dioksida. Karbon dioksida jika diabaikan maka akan terakumulasi
di atmosfer dan berpotensi menyebabkan pemanasan global dan dalam jangka
panjang akan mengakibatkan perubahan iklim yang berbahaya bagi kehidupan
manusia. Artinya, menjaga pohon sama saja menjaga kehidupan manusia dikemudian
hari.
Katanya,
meski mereka tahu dampak yang ditimbulkan namun alasan efisien dan ekonomis
sehingga mereka melakukan hal tersebut apalagi menjelang pemilu seperti ini. Tahukan,
biaya pemilu untuk duduk di parlemen dan pemerintahan tidak murah hehe!
Meski
Demikian, Jika dilihat dari perspektif etika lingkungan hidup maka perilaku
tersebut dapat disebut antroposentrisme. Antroposentrisme merupakan paham bahwa
manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripada spesies makhluk
lainnya atau penilaian kenyataan melalui sudut pandang manusia yang eksklusif. Sederhananya,
yang penting manusia (mereka) suka atau senang, tidak ada urusan dengan makhluk
lainnya.
Ia
juga bercerita bahwa beberapa negara di belahan dunia, memaku atau memasang
logam ke pohon merupakan aksi mereka untuk menyelamatkan pohon dari para
penebang liar. Sebab, apabila para penebang liar menebang pohon dengan gergaji
mesin kemudian mengenai paku atau logam dapat membahayakan keselamatan para
penebang tersebut. Di sisi lain, kayu yang terdapat logam akan mengalami
penurunan harga.
Hal yang paling membuat kawan saya heran adalah stageholder
terkait itu diam saja melihat fenomena tersebut. Dinas lingkungan hidup
misalnya, seolah melakukan pembiaran. Apalagi polisi pamong praja, biasanya
melakukan penertiban (penggusuran) pedagang kaki lima yang dinilai mengganggu
pengguna jalan raya. Padahal dengan jelas tertuang dalam Pasal 102 ayat (2) UU
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa pemasangan
alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan,
dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bukannya baliho-baliho yang bertebaran itu justru
mengganggu etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota? Kalau begitu
bubarkan saja lembaganya karena tidak bekerja, sama seperti KPK. Lah kok mirip Bu
Mega yah, main bubar-bubarin. Toh, belum waktunya kampanye. Terus kalau bukan kampanye, baliho yang bertebaran itu untuk apa? Yah sudah, bikin
pusing saja hehe!
Andai saja pohon bisa memilih untuk tidak menjadi pohon.
Mungkin ia akan lebih memilih untuk menjadi lampu jalan, tidak lagi dipaku.
Ketika malam tiba ia mampu menerangi jalan-jalan kota yang penuh polusi. Atau
mungkin memilih menjadi beton yang ditanam dan menjulang. Seandainya pohon bisa
bicara, mungkin kalimat yang terucap adalah sumpah serapah kepada manusia yang
hanya mementingkan dirinya sendiri. Kepada orang-orang yang tidak mementingkan
keseimbangan antara manusia dengan alam.
Sungguh malang nasib pohon menjelang pemilu, harus bertemu dengan orang-orang yang merusak pohon, kota, dan orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang katanya mereka perjuangkan. Jika baru calon saja mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, apalagi ketika mereka sudah terpilih nanti. Yakin mau pilih orang seperti itu? Kalau kata kawan saya sih mending golput saja haha! Kalau kamu gimana?