Ibu: loh, kok pulang?
Katanya ada kegiatan!
A: aku sakit bu.
Beberapa hari yang lalu ia dikabari oleh ibunya bahwa akan diadakan acara keluarga dan ia diminta untuk hadir sebab sudah banyak moment ngumpul bersama keluarga besar yang ia lewatkan. Namun seperti biasa, ia selalu menolak dengan alasan yang sama pula, sibuk kegiatan. Ibunya tidak pernah mempersoalkan jika ia tidak pulang karena sibuk mengurus lembaga, termasuk ketika libur semester. Ketika mahasiswa lain pulang kampung, ia masih saja disibukkan dengan berbagai macam kegiatan.
Banyak organisasi dan kegiatan yang ia ikuti. Hingga
akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada satu organisasi saja. Mengingat ia juga
telah lewat 4 tahun masa studi. Ia bergabung dengan organisasi tersebut sejak
semester 4, proses kaderisasi yang panjang dan berjenjang sering kali membuat
ia berpikir untuk berhenti di tengah jalan. Namun ia memilih untuk tetap
bertahan.
Tiada hari yang ia lewatkan berada di sekretariat. Apapun
yang ia miliki akan diberikan demi kepentingan organisasi. Materi, tenaga, dan
pikiran, termasuk menunda untuk selesai masa studi. Alasannya sederhana, ia
tidak ingin meninggalkan organisasi tersebut dalam keadaan terlontang-lantung tanpa arah yang jelas. Sebab
pandemi menghajarnya habis-habisan.
Sudah masuk hari keempat ia sakit, dua hari sebelumnya
masih ia paksakan untuk tetap mendampingi jalannya kepanitiaan. Inisiatif itu
belum tumbuh diantara adik-adiknya sehingga harus betul-betul dikawal untuk
bergerak. Sepertinya sulit menyelamatkan mereka jika melihat waktu yang
tersisa. Bagaimanapun, ia harus selesai studi tahun ini. Bukan nilai tawar
lagi.
Selama ia berorganisasi, belum pernah selelah ini katanya.
Bagaimana tidak, ia rangkap hingga empat jabatan sekaligus. Ketua, bendahara,
koordinator pendidikan dan pelatihan, juga sering sebagai sekretaris. Hati
kecilku bicara “loh, kok mirip Lord Luh*t yah!” bedanya mungkin lord digaji, dia cuma-cuma. Namanya juga organisasi, bukan perusahaan!
Masuk hari kelima, tidak seorangpun yang peduli dari organisasi yang ia hidupi dengan kondisinya. Bahkan berkabar untuk menanyakan keadaannyapun tidak ada. Akhirnya ia paksakan untuk pulang ke rumah, bertemu dengan ibu dan keluarganya.
Dari sini ia sadar bahwa sebaik-baiknya tempat untuk berobat adalah rumah dan sebaik-baiknya obat adalah ibu! Keluarga selalu ada dalam kondisi apapun, sekalipun mereka sering dinomorduakan.