Pernah suatu ketika saya mendaki salah satu gunung favorit di Sulawesi Selatan, namanya gunung Bawakaraeng. Bawakaraeng dalam bahasa Indonesia berarti mulut tuhan. Gunung ini memiliki 13 pos dengan ketinggian 2830 MDPL. Biasanya orang-orang akan camp di pos 10 karena dekat dengan puncak. Sementara pos 11-13 merupakan jalur lintas menuju gunung lompobattang.
Di puncak sumber air cukup terbatas. Jika beruntung, maka sumur yang berada di puncak akan terisi. Jika kering, maka pilihannya adalah turun ke pos 9 atau pos 11 untuk mengambil air.
Pada saat itu saya memilih untuk ke pos 11 karena merasa lebih dekat daripada turun ke pos 9. Hari itu saya sedikit kecewa, bukan karena di pos 11 kering. Melainkan, disana saya menjumpai celana dalam (CD) yang berserakan. Bisa tertebak, ini adalah milik orang-orang yang sudah berada diujung tanduk, penuh keringat dingin menahan hajat. Barangkali ada beberapa yang tersisa disitu dan tak ingin ia cuci untuk dibawa pulang. Langkah jitunya yah dibuang, mungkin biar tidak ketahuan haha! Meski tidak berada di jalur air, tapi bagi saya cukup meresahkan.
Malam tiba, kejadian itu saya ceritakan kepada kawan dan kami sepakat untuk kembali ke pos 11 sebelum turun gunung.
Hasilnya tak terduga, satu plastik sampah ukuran sedang terisi penuh dengan berbagai macam merk, motif, dan warna dalaman.
Sangat disayangkan masih banyak orang yang meninggalkan sampah di tempat yang mereka anggap indah dan menakjubkan. Padahal, kita tidak boleh meninggalkan apapun kecuali jejak. Jejak yang dimaksud ialah bekas tapak kaki, bukan dalaman atau sampah-sampah yang lain.