Senin, 15 Agustus 2022

KEHILANGAN

 


Ada makna dan pelajaran dari setiap kehilangan

Ketika berusia tujuh tahun, ia berpisah dengan orang tuanya. Mereka pindah ke luar kota untuk bekerja. Ia diminta untuk ikut mengantar orangtuanya ke pelabuhan, tapi ia menolak. Ia memilih untuk pura-pura tidur di kamar seorang diri karena tidak siap menerima kenyataan.

Setiap enam bulan sekali, ketika libur semester ia selalu berkunjung kesana. Meski hanya sekitar tiga-tujuh hari. Baginya sudah cukup untuk mengobati pilu dan rindu. Berkumpul dengan keluarga kecilnya yang sederhana.

Masa itu kemudian membentuknya menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Menjadi berbeda dari anak-anak sebayanya. Sejak masuk sekolah dasar, ia berjalan ke sekolah yang jaraknya lebih 1 KM seorang diri. Sementara teman-temannya yang lain diantar dan didampingi oleh orangtuanya hingga jam pulang sekolah. Mengerjakan PR sendiri. Semua serba sendiri.

Sejak kepergian itu pula, ia menjadi pribadi yang bebas, meski orang-orang menganggapnya liar. Intensitas kehadirannya di rumah mudah ditebak. Pagi sebelum ke sekolah dan siang sepulang sekolah.   Pulang hanya sekadar mandi, lalu berangkat ke sekolah. Sepulang sekolah, makan dan kerjakan PR lalu pergi lagi. Selebihnya ia habiskan bersama kawan-kawannya. Seperti itulah rutinitasnya setiap hari.

Sekitar sepuluh tahun orangtuanya bekerja di luar kota, hingga akhirnya mereka kembali ke kampung halaman. Kumpul kembali bersama keluarganya. Hari itu ia berdoa dengan penuh harap, semoga tidak adalagi perpisahan selanjutnya.

Beranjak dewasa, ia kembali dipertemukan dengan hari kelam yang tak pernah ia harapkan. Lagi, ia merasa kehilangan. Namun, kali ini bukan orangtuanya yang pergi, tetapi perempuan yang begitu berarti baginya. 

Perempuan yang membuatnya kagum dan jatuh hati. Setiap lembar buku yang ia baca, seolah ada halaman yang hilang dan itu ia temukan dalam diri perempuan tersebut. Sebab, di balik tawa dan senyumnya bersemayam semangat dan harapan.

Berat, iya. Masih berharap, iya. Tapi pilihan perempuan itu sudah bulat. Perempuan itu memilih untuk pergi.

Kepergian perempuan itu membuatnya menjadi seorang pemurung dan sering menyendiri. Ia seolah kehilangan dirinya sendiri. Ia tak pernah membayangkan kejadian seperti itu akan menimpa dirinya. Meski sulit menerima kenyataan, tapi mau tidak mau dan suka tidak suka ia harus menerima kenyataan.

Ia percaya, Tuhan punya cara tersendiri dalam mengatur skenario hidup ciptaannya. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan perpisahan tidak semuanya harus ditangisi. Sebab, bisa jadi ia akan dipertemukan dengan perempuan yang lebih baik dari sebelumnya. Seperti kalimat perpisahan yang diucap perempuan itu “kau pantas bersama perempuan yang tepat”. Dalam hati ia mengucap Aamiin.


Minggu, 14 Agustus 2022

MENGHITUNG HARI BERSAMA ANDESIT

 

Aku Andesit. Bagiku Andesit nama yang istimewa. Meski di Wadas, ia dikeruk habis-habisan. Orang-orang memperjuangkannya, sebab ia begitu berharga bagi masyarakat. Di sanalah masyarakat menggantungkan harapan dan masa depannya. Disana pula sumber kehidupan masyarakat.

Andesit tertarik dengan isu lingkungan. Termasuk persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Wadas. Ketertarikannya mengantarkan ia untuk bergabung dengan sebuah rumah yang dilabeli pecinta alam. Ia ingin belajar banyak hal tentang lingkungan dan segala problematikanya. Ia punya mimpi, suatu hari orang-orang bisa hidup selaras dengan alam. Tidak ada yang mengeksploitasi dan dieksploitasi.

Andesit itu kuat, tapi tidak abadi. Sekuat apapun itu, akan tiba suatu masa ia tidak lagi sekuat hari ini. Hujan akan turun dan mengikisnya secara perlahan. Hujan memberinya pelajaran dan pengalaman yang tak akan ia lupakan.

Andesit jarang menetap. Sejak kecil ia hidup berpindah-pindah. Dari rumah ke rumah. Bukan tanpa sebab, keadaan menjadikannya pribadi yang jarang menetap di rumahnya sendiri. Bukan hanya sekadar numpang hidup, ia juga berusaha untuk menghidupi rumah yang ia diami.

Rumah baru memberinya pemahaman baru, juga masalah baru. Sebagai orang baru, banyak hal yang ia lihat sebagai sebuah masalah dan terus berulang. Mulai dari kegiatan yang itu-itu saja, hingga proses pelaksanaan yang minim persiapan. Padahal, sejak pertama kali bergabung manajemen perjalanan menjadi salah satu materi yang diturunkan. Oleh karena itu, lucu kiranya ketika masih saja gagal dalam perencanaan. Baginya, gagal dalam perencanaan sama saja merencanakan kegagalan.

Hingga suatu hari di rumah yang ia diami, ia ditinggal seorang diri. Andesit dipaksa menghadapi masalah seorang diri. Hal yang tak pernah ia duga sebelumnya, sebab sejak dulu ia selalu diajarkan untuk setia kawan kepada seluruh penghuni rumah. Tidak saling meninggalkan dalam kondisi dan situasi  apapun. 

Siapapun pasti kecewa, termasuk Andesit. Sejak kejadian itu, ia lebih senang menyendiri. Menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia tidak lagi seperti sedia kala, orang yang dikenal terbuka. Kini ia menjadi pribadi yang tertutup dan sulit ditemui. Beberapa hari terakhir ia tidak lagi muncul di rumah itu. Katanya ia ingin pergi menenangkan diri. Namun hingga hari ini ia belum juga kembali.

Mungkinkah ia kembali setelah apa yang ia rasakan? Setelah perlakuan yang kurang menyenangkan ia terima? Mungkin! 

Mungkin juga Andesit telah mati dalam pengasingannya.