Ketika berusia tujuh tahun, ia berpisah dengan orang tuanya. Mereka pindah ke luar kota untuk bekerja. Ia diminta untuk ikut mengantar orangtuanya ke pelabuhan, tapi ia menolak. Ia memilih untuk pura-pura tidur di
kamar seorang diri karena
tidak siap menerima kenyataan.
Setiap enam bulan sekali, ketika
libur semester ia selalu berkunjung kesana. Meski hanya sekitar tiga-tujuh
hari. Baginya sudah cukup
untuk mengobati pilu dan rindu. Berkumpul dengan keluarga kecilnya yang
sederhana.
Masa itu kemudian membentuknya menjadi pribadi yang tangguh dan
mandiri. Menjadi berbeda dari anak-anak sebayanya. Sejak masuk sekolah dasar, ia berjalan ke sekolah yang
jaraknya lebih 1 KM seorang diri. Sementara teman-temannya yang lain diantar dan didampingi oleh orangtuanya
hingga jam pulang sekolah. Mengerjakan PR sendiri. Semua serba sendiri.
Sejak kepergian itu pula, ia menjadi pribadi yang
bebas, meski orang-orang menganggapnya liar. Intensitas kehadirannya di rumah mudah ditebak. Pagi sebelum ke
sekolah dan siang sepulang sekolah.
Pulang hanya sekadar mandi,
lalu berangkat ke sekolah.
Sepulang sekolah, makan dan kerjakan PR lalu pergi lagi. Selebihnya ia
habiskan bersama kawan-kawannya.
Seperti itulah rutinitasnya
setiap hari.
Sekitar sepuluh tahun orangtuanya bekerja di luar kota, hingga akhirnya mereka kembali ke
kampung halaman. Kumpul kembali bersama
keluarganya. Hari itu ia berdoa dengan penuh harap, semoga tidak adalagi
perpisahan selanjutnya.
Beranjak dewasa, ia kembali dipertemukan dengan hari kelam yang tak pernah ia harapkan. Lagi, ia merasa kehilangan. Namun, kali ini bukan orangtuanya yang pergi, tetapi perempuan yang begitu berarti baginya.
Perempuan yang membuatnya kagum
dan jatuh hati. Setiap lembar buku yang ia baca, seolah ada halaman yang hilang
dan itu ia temukan dalam diri perempuan tersebut. Sebab, di balik tawa dan senyumnya
bersemayam semangat dan harapan.
Berat, iya. Masih berharap, iya.
Tapi pilihan perempuan itu
sudah bulat. Perempuan itu
memilih untuk pergi.
Kepergian perempuan itu membuatnya menjadi seorang pemurung dan sering menyendiri. Ia seolah kehilangan dirinya sendiri. Ia tak pernah membayangkan kejadian seperti itu akan menimpa dirinya. Meski sulit menerima kenyataan, tapi mau tidak mau dan suka tidak suka ia harus menerima kenyataan.
Ia percaya, Tuhan punya cara
tersendiri dalam mengatur skenario hidup ciptaannya. Setiap
pertemuan pasti ada perpisahan dan
perpisahan tidak semuanya
harus ditangisi. Sebab, bisa
jadi ia akan dipertemukan
dengan perempuan yang lebih baik dari sebelumnya. Seperti
kalimat perpisahan yang diucap perempuan itu “kau pantas bersama perempuan yang tepat”. Dalam hati ia mengucap Aamiin.